Solidaritas.Online - Donald Trump, yang berulang kali menyatakan dunia tak menghargai usahanya untuk perdamaian, kini berada di persimpangan berbahaya antara diplomasi dan kehancuran.
Ia mengklaim telah menciptakan sejarah dengan mendamaikan Pakistan dan India pada Mei 2025, menengahi gencatan senjata Kongo-Rwanda, dan memperkuat Abraham Accords untuk stabilitas Timur Tengah.
“Saya melakukan lebih banyak untuk perdamaian daripada pemenang Nobel mana pun, tapi mereka tak akan pernah memberi saya penghargaan,” sindirnya di Truth Social, 20 Juni 2025.
Pakistan, yang menyebut Trump sebagai “penutup luka Asia Selatan” atas perannya dalam meredakan krisis nuklir, bahkan berencana mengusulkannya untuk Nobel Perdamaian 2026, menurut pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Pakistan.
Namun, narasi “pahlawan perdamaian” ini runtuh seketika. Hanya sehari setelah Pakistan memohon AS di Gedung Putih untuk menahan dukungan terhadap serangan Israel ke Iran, Trump mengumumkan bahwa AS telah menghancurkan tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Esfahan—pada 22 Juni 2025. “Iran adalah ancaman, dan kami bertindak tegas.
Amerika hebat!,” ujarnya dalam pidato televisi. Serangan ini memicu gelombang kemarahan dunia dan ketakutan akan Perang Dunia III. Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih yang turut dalam aksi buruh “Stop Perang” di Kantor PBB dan Kedubes AS di Jakarta, mengecam AS sebagai “provokator global.” “Trump bukan mencari perdamaian, tapi ego dan sumber kekacauan,” tegasnya.
Ketegangan meningkat dengan adanya dugaan aliansi antara Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Iran, yang konon sepakat untuk saling mendukung jika diserang, menurut laporan intelijen yang bocor dan dianalisis oleh The Guardian.
Jika benar, serangan AS bisa memicu konflik lintas benua. Dampak ekonominya pun sudah terasa dimana harga minyak dunia melonjak 15% apalagi bila Iran tutup selat Hormuz, memicu krisis inflasi global dan ancaman PHK massal.
Di Indonesia, sektor manufaktur dan transportasi diprediksi kehilangan 500.000 pekerja pada 2026 akibat kenaikan biaya energi. Krisis ini mengancam stabilitas sosial di banyak negara berkembang.
Di tengah kekacauan, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen nyata untuk perdamaian dunia. Melalui kunjungan ke Timur Tengah, dialog dengan pemimpin ASEAN, dan pidato di Sidang Umum PBB, ia menyerukan de-eskalasi dan kerja sama global.
“Perang bukan solusi, hanya dialog yang menyelamatkan umat manusia,” ujarnya di Jakarta, 21 Juni 2025. Apakah Trump hanya ingin membuktikan dirinya lebih besar dari Nobel Perdamaian, atau malah menjadi katalis perang yang dia sendiri takuti? Dunia berada di ujung tanduk, dan keputusan berikutnya akan menentukan nasib miliaran jiwa.
(Why)