![]() |
Foto; Tangkap layar Vidio KDM |
Solidaritas.Online - Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim pelajar "nakal" ke barak militer untuk pembinaan karakter telah memicu polarisasi di kalangan masyarakat Jawa Barat. Program ini, yang dimulai 2 Mei 2025, menargetkan siswa yang terlibat tawuran, bolos, atau kecanduan game, dengan 273 siswa sudah mengikuti pembinaan di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi.
Pengaduan Adhel Setiawan ke Bareskrim Polri pada 5 Juni 2025, yang menyoroti dugaan pelanggaran HAM dan UU Perlindungan Anak, memperkeruh perdebatan. Berikut adalah posisi masyarakat Jawa Barat berdasarkan sumber terpercaya:
Sepagian masyarakat, terutama orang tua yang kewalahan menangani anak mereka, mendukung program ini. Dedi Mulyadi mengklaim kebijakan ini lahir dari permintaan warga, dengan siswa dipilih berdasarkan kesepakatan sekolah dan orang tua.
Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein menyebut program ini sebagai "penyelamatan generasi muda" dari degradasi moral. Data menunjukkan 39 siswa dari Purwakarta telah mengikuti program ini, dan beberapa orang tua melaporkan perubahan positif, seperti peningkatan disiplin dan tanggung jawab anak.
Di media sosial, unggahan Dedi di Instagram (@dedimulyadi71) mendapat dukungan dari netizen yang melihat program ini sebagai solusi praktis untuk kenakalan remaja karena program ini menawarkan disiplin ketat dan pelatihan keterampilan.
Sebaliknya, banyak warga Jawa Barat, khususnya di Babelan, Bekasi, menolak kebijakan ini. Adhel Setiawan, yang mengaku didukung banyak orang tua di Babelan, menyebut program ini melanggar Pasal 76H UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, yang melarang pelibatan anak dalam aktivitas militer dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Ia menyoroti risiko trauma psikologis dan kurangnya kurikulum pendidikan yang jelas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menentang, dengan KPAI mencatat kejanggalan seperti tidak adanya payung hukum dan asesmen psikologis.
Tak sedikit warganet menyatakan muak dan marah, menyebut program ini represif dan tidak manusiawi. Ombudsman Jawa Barat menyoroti kurangnya transparansi informasi, yang sebagian besar hanya diumumkan via media sosial Dedi, memicu kebingungan dan penolakan.
Dampak pada Energi Gubernur
Kontroversi ini telah menyita energi Dedi Mulyadi dan pemerintah provinsi. Sorotan publik, laporan ke Komnas HAM dan Bareskrim, serta kritik dari pakar pendidikan seperti Totok Amin dari Universitas Paramadina, memaksa Dedi merespons melalui pernyataan terbuka di media sosial.
Ia harus menjelaskan bahwa program ini sukarela dan bertujuan melindungi masyarakat dari dampak kenakalan remaja, seperti tawuran yang mencatat 12 kasus dengan 3 korban jiwa di Babelan pada 2024.
Namun, fokus pada polemik ini diduga mengalihkan perhatian dari isu lain, seperti evaluasi izin tambang atau efisiensi anggaran, yang juga menjadi prioritas Dedi. Ombudsman mencatat bahwa komunikasi yang buruk memperparah konflik, memaksa Dedi menghabiskan waktu untuk menangani kritik ketimbang fokus pada pelayanan publik lainnya.
Jalan Tengah
Wahyu Hidayat, aktivis buruh dan pendiri Spirit Binokasih mengusulkan agar program dilanjutkan dengan perbaikan administratif, penguatan legalitas (payung hukum) dan tetap berdasar persetujuan orang tua, sementara wilayah seperti Babelan yang menolak bisa dikecualikan untuk melihat perbandingan hasil. Pendekatan ini dapat mengurangi ketegangan dan memungkinkan evaluasi objektif.