Orangutan Kalimantan, atau Pongo pygmaeus, adalah spesies primata besar yang hanya hidup di pulau Kalimantan. Dengan rambut panjang berwarna cokelat kemerahan dan lengan yang bisa membuat atlet gym cemburu, mereka dikenal sebagai salah satu primata paling cerdas. Mereka menggunakan alat, membuat sarang setiap malam, dan memiliki ikatan sosial yang kompleks. Tapi satu hal yang tidak mereka kuasai: menyusun strategi melawan ekspansi industri manusia.
Hutan Dijual, Rumah Dirampas
Setiap tahun, ribuan hektar hutan tropis lenyap diubah menjadi kebun sawit, jalan tol, atau proyek properti bernama "Green Valley", yang ironisnya tidak menyisakan satu pohon pun. Deforestasi di Kalimantan bukan hanya menghapus pepohonan, tapi juga menghapus ruang hidup bagi makhluk yang tak bisa membela diri di pengadilan.
Orangutan tak bisa membeli tanah, menyewa pengacara, atau membuat petisi daring. Mereka hanya bisa berpindah dari satu pohon ke pohon lain — sampai tidak ada lagi pohon yang tersisa.
Cerdas Tapi Tak Punya Mikrofon
Studi ilmiah menunjukkan bahwa orangutan adalah makhluk dengan kecerdasan tinggi. Mereka belajar dari sesamanya, menghafal lokasi makanan, bahkan bisa menunjukkan empati. Namun, kecerdasan itu tak cukup untuk melawan alat berat yang datang pagi-pagi dengan surat izin resmi dan target hektaran per hari.
Andai orangutan bisa bicara, mungkin mereka akan mengajukan mosi tidak percaya pada manusia. Tapi sayangnya, satu-satunya suara yang mereka punya adalah jeritan diam dari pucuk pohon yang terus ditebang.
Perburuan Liar: Luka Tambahan Setelah Kehilangan Rumah
Ancaman terhadap orangutan tak hanya datang dari hilangnya habitat. Perburuan liar juga menjadi momok yang merampas hidup mereka. Anak orangutan kerap diambil untuk dipelihara, sementara induknya dibunuh. Praktik ini bukan sekadar ilegal, tetapi kejam dan tidak beradab.
Beberapa pelaku bahkan berdalih menyelamatkan orangutan yang "tersesat ke kebun warga", tanpa menyebutkan bahwa kebun itu dulunya adalah hutan tempat mereka tinggal. Perburuan bukan soal bertahan hidup, melainkan soal ego manusia yang merasa bisa memiliki segalanya.
Siapa yang Sebenarnya Liar?
Kita sering menyebut satwa sebagai liar, padahal yang mengganggu ruang hidup bukan mereka. Orangutan tidak pernah menebang rumah manusia, membakar permukiman, atau membangun pabrik di tengah kota. Sebaliknya, manusia terus menekan ruang hidup satwa, lalu menyalahkan mereka ketika tersesat masuk ke ladang atau desa.
Jika ukuran peradaban adalah menghormati makhluk lain, maka manusia masih kalah jauh dari orangutan.
Menyelamatkan Mereka Bukan Sekadar Simpati
Orangutan tidak butuh dikasihani. Mereka butuh pohon. Butuh hutan yang utuh. Butuh ruang untuk hidup sebagaimana mestinya. Menyelamatkan mereka bukan hanya soal donasi atau kampanye sesekali, melainkan perubahan sikap jangka panjang.
Kita bisa mulai dengan mendukung produk yang tidak merusak hutan, menolak pembangunan yang merampas kawasan konservasi, serta menuntut kebijakan tegas terhadap perusakan alam.
Rumah Mereka, Paru-Paru Kita
Orangutan Kalimantan bukan sekadar primata. Mereka adalah indikator kesehatan hutan tropis, penjaga ekosistem, dan pengingat bahwa ada kehidupan lain di luar ambisi manusia. Jika mereka punah, bukan hanya makhluk berbulu merah yang hilang, tapi juga bagian penting dari keseimbangan alam yang menopang kehidupan manusia itu sendiri.
Sementara itu, mesin gergaji terus bekerja. Pohon-pohon terakhir tumbang. Dan seekor orangutan tua masih bergelantungan pada cabang pohon yang semakin rapuh. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Tapi ia tahu satu hal: hutan tak akan tumbuh kembali jika terus dianggap lahan kosong.***