![]() |
Sumber Foto Wikipedia |
Solidaritas.Online - Berdiri sejak tahun 1995 atas inisiasi ulama kharismatik Prof. Dr. KH. Abdul Syakur Yasin atau yang akrab disapa Buya Syakur, pesantren ini telah melahirkan banyak generasi santri yang berpegang teguh pada ilmu, akhlak, dan amalan dzikir.
Salah satu amalan khas yang menjadi ruh spiritual pesantren ini adalah Wamimma. Bagi masyarakat luar, nama ini mungkin terdengar asing. Namun bagi para santri dan jamaah yang mengenal pesantren Cadangpinggan, Wamimma adalah lebih dari sekadar dzikir—ia adalah simbol harapan dan ikhtiar batin yang terus bergema dari ruang-ruang santri hingga ke pelosok negeri.
Makna dan Tujuan Wamimma
Wamimma adalah rangkaian ayat-ayat pilihan dalam Al-Qur’an yang dikenal sebagai dzikir jalbul rizki atau penarik rezeki. Dibaca dengan niat yang ikhlas dan hati yang lapang, dzikir ini diyakini menjadi wasilah bagi siapa pun yang memiliki hajat besar—baik urusan ekonomi, kesehatan, kehidupan keluarga, maupun urusan dunia-akhirat lainnya.
Namun lebih dari sekadar meminta rezeki materi, Wamimma mengajarkan keterhubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam semangat tawakal, sabar, dan istiqamah. Inilah yang membuat dzikir ini terus diamalkan sejak pondok pertama kali berdiri.
Dari Santri untuk Nusantara
Seiring waktu, amalan dzikir Wamimma tidak hanya menjadi rutinitas internal para santri. Ia telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Dalam banyak majelis taklim, pesantren cabang, bahkan komunitas-komunitas spiritual urban, Wamimma mulai dikenal dan diamalkan secara luas.
Media sosial juga turut menjadi jembatan penyebaran. Banyak video pembacaan Wamimma yang diunggah oleh jamaah dan simpatisan, menjadikannya sebagai fenomena spiritual baru yang tumbuh dari akar tradisi pesantren.
Identitas Khas Cadangpinggan
Setiap pesantren memiliki kekhasannya masing-masing. Jika sebagian dikenal lewat metode pembelajaran kitab kuning atau gaya ceramah tertentu, maka Cadangpinggan dikenal dan dikenang salah satunya melalui Wamimma. Ia menjadi identitas spiritual yang menyatukan antara visi Buya Syakur tentang keislaman yang inklusif dan pendekatan batiniah yang menenangkan.
Wamimma menghidupkan sisi religius tanpa menegangkan, menenangkan tanpa melalaikan, dan memperkuat doa tanpa mengabaikan usaha nyata.
Penutup: Warisan Abadi dari Pesantren
Pondok Pesantren Cadangpinggan telah memberikan sumbangan besar dalam pembentukan karakter santri yang utuh—berilmu, berakhlak, dan berspiritualitas tinggi. Dan di tengah semua itu, Wamimma berdiri sebagai warisan yang terus hidup, mengalir dari lisan ke lisan, dari hati ke hati.
Ia bukan hanya amalan, melainkan jembatan antara harapan manusia dan rahmat Tuhan. Dan dari pesantren sederhana di Cadangpinggan, namanya kini menggema jauh, menjadi cahaya kecil yang menuntun banyak jiwa dalam perjalanan panjang kehidupan.
(Adil)