Solidaritas.Online - Di tengah upaya membendung arus ideologi radikal yang terus berevolusi, Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri menggandeng Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga untuk menggelar kegiatan Bedah Buku dan Kelas Kontranarasi, Rabu (25/6).
Bertempat di kampus UIN Salatiga, Jawa Tengah, forum ini menjadi panggung strategis untuk membuka lembaran baru dalam memahami fenomena radikalisme, melalui pembacaan mendalam atas buku “JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah” karya Irjen Pol Sentot Prasetyo.
Bukan sekadar acara akademik biasa, kegiatan ini menghadirkan tokoh-tokoh kunci: dari Prof. Dr. Ilyya Muhsin, M.Si. (Dekan Fakultas Syariah UIN Salatiga), Kompol Agus Isnaini, M.Si. (Densus 88), Ustaz Para Wijayanto (mantan Amir JI), Khoirul Anam (peneliti terorisme), hingga Syukron Ma’mun, Ph.D (sosiolog radikalisme). Diskusi dipandu Dr. Muhammad Chairul Huda, dan diikuti lebih dari 200 dosen dan mahasiswa.
Dalam sambutannya, Prof. Ilyya Muhsin menegaskan bahwa acara ini lebih dari sekadar diskusi buku: ini adalah penegasan posisi UIN Salatiga sebagai pusat kajian moderasi beragama.
“Kami merasa bangga karena tema yang diangkat dalam kegiatan ini sejalan dengan arah akademik kami sebagai pusat studi moderasi beragama. Semoga ini menjadi penguat langkah kami untuk menjadi motor penggerak moderasi di tingkat nasional,” ujarnya.
Sementara itu, Kombespol Moh. Dofir, S.Ag., M.H. menyebut pembubaran JI sebagai peristiwa langka dalam sejarah radikalisme global, yang perlu dibaca bukan hanya sebagai kabar baik, tetapi sebagai materi ilmiah yang patut diwariskan.
“JI adalah kelompok radikal-terorisme terbesar di Asia Tenggara. Ketika mereka memutuskan untuk bertobat dan meninggalkan kekerasan, ini bukan sekadar kabar baik ini adalah tonggak sejarah yang harus dipahami, dikaji, dan diwariskan secara akademik,” jelasnya.
Sorotan tajam juga datang dari Syukron Ma’mun, Ph.D., yang menyebut bahwa langkah JI membubarkan diri adalah keputusan internal, bukan hasil tekanan eksternal.
“Secara historis, banyak kelompok radikal tidak pernah benar-benar bubar. Yang berubah hanyalah bentuk dan strateginya. Tapi saya berharap JI menjadi pengecualian,” katanya.
Dari sisi penegakan hukum, Kompol Agus Isnaini, M.Si. menegaskan bahwa deklarasi pembubaran bukan akhir, melainkan awal dari pendekatan baru yang lebih humanis dan restoratif.
“Kami ingin memastikan bahwa komitmen yang telah dibacakan dalam deklarasi itu dijalankan sepenuhnya,” tegasnya.
Sementara itu, Khoirul Anam, selaku staf khusus Kepala Densus 88, menjelaskan bahwa buku “JI The Untold Story” menyajikan pengakuan dan narasi dari dalam tubuh JI sendiri, menjadikannya sebagai dokumen sosial yang otentik dan langka.
“Kami ingin menyampaikan narasi dari sisi dalam, dari mereka yang pernah menjadi bagian dari struktur JI,” ujarnya.
Antusiasme peserta tampak tinggi dalam sesi tanya jawab. Pertanyaan-pertanyaan tajam dilontarkan dari alasan ideologis Ustaz Para Wijayanto bergabung ke JI, hingga pertanyaan tentang keaslian deklarasi bubar. Diskusi berjalan dinamis namun tetap dalam nuansa ilmiah dan penuh respek.
Sebagai penutup, sesi foto bersama dan penyerahan cinderamata menjadi penanda bahwa diskusi yang telah berlangsung bukan hanya memantik nalar kritis, tetapi juga membangun jembatan kebersamaan antara akademisi, peneliti, dan aparat penegak hukum.
Kelas Kontranarasi: Meracik Narasi Damai dari Tengah Gelombang Digital
Memasuki sesi kedua, Kelas Kontranarasi digelar secara khusus bagi peserta terpilih. Dipandu langsung oleh Khoirul Anam, sesi ini membedah konten digital bertema intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme (IRET), serta membekali peserta dengan keterampilan menyusun narasi tandingan.
Khoirul menekankan bahwa narasi ekstrem kini tidak lagi tampil frontal, tapi menyusup lewat keseharian:
“Narasi ekstrem bukan lagi sekadar hadir dalam wujud propaganda kekerasan terbuka, tetapi juga sering kali menyusup lewat narasi keseharian yang dikemas dalam bentuk keagamaan, moral, atau identitas.”
Para peserta diajak merancang strategi digital untuk melawan narasi kebencian, termasuk bagaimana algoritma media sosial bisa dimanfaatkan untuk menyebar pesan damai. Dalam atmosfer yang partisipatif, mahasiswa turut menyuarakan gagasan untuk menjadikan kelas kontranarasi sebagai bagian kurikulum kampus dan gerakan kemahasiswaan.
Kolaborasi Strategis Melawan Radikalisme
Secara keseluruhan, kegiatan ini menjadi contoh nyata kolaborasi antara akademisi, aparat, dan masyarakat sipil. Dengan pendekatan multidisipliner memadukan literasi digital, narasi akademik, dan strategi keamanan nasional forum ini menegaskan bahwa menangkal radikalisme membutuhkan sinergi luas dan berkelanjutan.
Dengan semangat terbuka dan ilmiah, Salatiga menjadi saksi bahwa membangun bangsa yang inklusif dimulai dari ruang-ruang dialog seperti ini: ruang yang mengedepankan pemahaman, bukan penghakiman; keterbukaan, bukan kekakuan; dan harapan, bukan ketakutan.