![]() |
| Ilustrasi Sukarno Menggugat Perjuangan Upah Tanpa Politik Adalah Jalan Buntu Menuju Penindasan Abadi (Foto: Instagram) |
Opini Ditulis Oleh: Trisna Mukti Arisandy (Founder DailyNotif, KabarKiri, SuaraKiri dan Solidaritas.online)
Solidaritas.online - Ada sebuah ilusi berbahaya yang terus-menerus dicekokkan kepada kaum buruh: bahwa perjuangan mereka cukuplah sebatas menuntut kenaikan gaji, pesangon, dan perbaikan kondisi kerja. Sukarno, puluhan tahun silam, menamai ilusi ini sebagai mimpi kosong “hangat-hangat bersarang di dalam kapitalisme”.
Melalui risalahnya yang tajam, “Bolehkah Serekat Sekerja Berpolitik?”, ia membongkar habis kebohongan tersebut. Baginya, perjuangan yang berhenti pada urusan perut adalah sebuah jebakan yang justru melanggengkan penindasan. Politik bukanlah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan bagi kelas pekerja jika ingin benar-benar merdeka.
Dasar argumennya menusuk langsung ke jantung sistem itu sendiri: antara kepentingan pemodal yang ingin memaksimalkan laba dan kepentingan pekerja yang menjual tenaga, ada jurang pertentangan yang mustahil untuk dijembatani.
“Ini pertentangan yang tidak bisa dihapus,” tulis Sukarno, seraya menegaskan bahwa bahkan para intelektual paling cerdas sekalipun tak akan sanggup mendamaikannya. “Professor-professor botak dan sekolah-sekolah tinggi pun tak akan sanggup menghapusnya.”
Sebab, watak asli kapitalisme adalah akumulasi tanpa henti. Mesin ini hanya bisa berjalan dengan satu bahan bakar: penghisapan nilai lebih (meerwaarde) dari tenaga dan waktu kerja buruh. Upah ditekan serendah mungkin agar keuntungan bisa melambung setinggi-tingginya.
Maka, pemiskinan massal atau verelendung bukanlah efek samping yang gagal diantisipasi, melainkan hasil logis dari sebuah sistem yang memang dirancang untuk berfungsi demikian. “Ujung-ujungnya adalah pemiskinan,” simpulnya.
Jika penyakitnya adalah sistem itu sendiri, maka obatnya tidak mungkin hanya sebatas perbaikan-perbaikan kecil di permukaannya. Solusinya harus bersifat politis dan fundamental. Sukarno menyatakan dengan gamblang, nasib buruh tidak akan pernah berubah total selama sistem kapitalisme masih tegak berdiri.
“Nasib kaum buruh tidak bisa langsung diperbaiki selama stelsel (sistem) kapitalisme masih merajalela,” katanya.
Sejarah kelam Orde Baru menjadi bukti paling nyata. Ketika gerakan buruh dilucuti dari kekuatan politiknya, ia menjadi mangsa empuk bagi persekongkolan negara dan pemodal. Penindasan dilembagakan, serikat pekerja dimandulkan, dan setiap perlawanan diberangus.
Karena itulah, Sukarno menegaskan bahwa langkah pertama perjuangan adalah merebut kembali senjata politik yang paling dasar: apa yang ia istilahkan sebagai “politieke toestand”.
Ruang untuk bebas berserikat, kebebasan untuk berkumpul, dan hak untuk menyuarakan kritik secara terbuka bukanlah hadiah, melainkan medan perang yang harus dimenangkan. Ia adalah syarat mutlak bagi kaum buruh untuk membangun kekuatan kolektif, menyusun strategi, dan pada akhirnya, mengubah nasibnya secara revolusioner.**
