Solidaritas.Online - Media digital, khususnya platform Twitter/X, menjadi medan utama pertarungan wacana politik tentang Papua pada dua pemilu terakhir.
Fakta ini terungkap dalam riset disertasi doktoral Kennorton Hutasoit yang dipresentasikan pada Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor, Sumedang, Rabu (6/8/2025).
Dalam sidang promosi doktor yang berlangsung selama dua jam dan diketuai Dr. Dadang Sugiana tersebut, Kennorton mendapat dukungan dari Ketua Promotor Prof. Dr. Suwandi Sumartias, anggota Promotor Prof. Dr. Dadang Rahmat Hidayat (Dekan Fikom Unpad), dan guru besar Prof. Dr. Eni Maryani. Oponen ahli yang hadir antara lain Prof. Dr. Atwar Bajari, Dr. Evie Ariadne Shinta Dewi, dan Dr. Agus Rahmat.
Sebagai jurnalis televisi berpengalaman sejak 2002, Ken mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tajam seputar paradigma, teori, metodologi, hingga kesimpulan penelitiannya.
Melalui pendekatan mixed-methods yang mengintegrasikan analisis media online, media sosial, dan wawancara elite, penelitian ini memetakan dinamika narasi antara kubu pro-NKRI dan Papua Merdeka.
Temuannya, pada Pemilu 2024 terjadi pergeseran aktor signifikan: jika pada 2019 narasi lebih dikendalikan elite politik, maka pada 2024 peran dominan justru diambil oleh akun-akun anonim dan nonformal yang masif di ruang digital.
“Polarisasi tajam terbentuk antara narasi negara dan kelompok separatis, yang saling memperebutkan makna melalui simbol, propaganda, dan retorika digital,” ungkap Ken, yang juga penguji Uji Kompetensi Wartawan di LPDS Jakarta.
Dengan analisis jejaring media sosial dan semiotika sosial Halliday, Ken menemukan bahwa media online cenderung mereproduksi narasi hegemonik negara.
Sebaliknya, media sosial menjadi ruang artikulatif politik identitas dan trauma kolektif orang Papua, didorong oleh connective action yang berkembang akibat teknologi, ketidakadilan struktural, serta peran diaspora Papua di level global.
Penelitian ini melahirkan lima model teoretis baru, salah satunya Model Connective Action Papua Merdeka yang memperluas teori gerakan sosial digital dalam konteks konflik etnopolitik.
“Model ini dapat menjadi kerangka kerja baru dalam memahami dinamika digitalisasi gerakan separatis di wilayah konflik atau perbatasan, serta menjadi alat analitis bagi pemerintah dan aktivis dalam membangun ekosistem informasi yang adil dan inklusif,” jelas Ken.
Ia menegaskan bahwa tantangan negara kini bukan hanya soal penguasaan wilayah fisik, tetapi juga pertarungan makna di ruang publik digital.
“Tanpa strategi komunikasi politik yang adil dan berbasis hak asasi manusia, narasi Papua Merdeka akan terus menguat dan menemukan momentumnya di platform internasional melalui solidaritas digital yang mengglobal,” ujarnya.
Dalam rekomendasinya, Ken menyarankan kebijakan komunikasi diarahkan pada studi longitudinal terhadap generasi muda Papua di ruang digital dan etnografi digital yang menghubungkan diskursus daring dengan komunitas akar rumput.
“Dengan demikian, pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil diharapkan dapat merumuskan strategi komunikasi politik digital yang lebih transformatif dan berkeadilan sosial,” pungkasnya.