![]() |
Fenomena Rojali-Rohana ungkap lemahnya daya beli dan disparitas upah. FSPMI dorong formula pengupahan adil demi wujudkan Indonesia Emas 2045.(Dok: Media Perjuangan FSPMI) |
Solidaritas.Online - Fenomena "Rojali" (Rombongan Jarang Beli) dan "Rohana" (Rombongan Hanya Nanya) tengah viral di media sosial, menjadi potret nyata melemahnya daya beli masyarakat Indonesia.
Perilaku konsumen kini semakin selektif, di mana banyak pengunjung pusat perbelanjaan hanya menikmati fasilitas gratis seperti Wi-Fi atau udara sejuk, tanpa bertransaksi.
Ketua OJK, Mahendra Siregar, menilai fenomena ini sebagai reaksi alami masyarakat terhadap ketidakpastian ekonomi. “Konsumen menunda pembelian barang tersier karena situasi ekonomi yang tidak pasti,” ujarnya.
Namun, di balik tren ini, terdapat masalah mendasar yang lebih serius: disparitas upah. Wahyu Hidayat, pengurus Exco Partai Buruh sekaligus pendiri Spirit Binokasih, mengungkapkan bahwa ketimpangan upah telah lama menggerus daya beli kelas pekerja.
“Disparitas upah menciptakan luka sosial dan ekonomi yang terlihat jelas,” — Wahyu Hidayat, Sabtu (9/8/25).
Wahyu memaparkan dampak yang ditimbulkan, mulai dari meningkatnya ketimpangan pendapatan yang memperburuk Indeks Gini ratio, migrasi tenaga kerja yang memicu brain drain di daerah berupah rendah, hingga relokasi industri yang mengakibatkan lonjakan pengangguran di wilayah tertentu.
Kenaikan upah minimum yang tidak seimbang juga berisiko memicu efek disemployment, mengurangi peluang kerja bagi pekerja berketerampilan rendah.
Lebih jauh, ia menyoroti "korosi sosial" yang lahir dari ketimpangan ini: maraknya praktik suap untuk memperoleh pekerjaan meski harus berutang dengan bunga tinggi, erosi nilai sosial yang membuat ketimpangan dianggap wajar, hingga persaingan antar-daerah menawarkan upah rendah demi menarik investor.
“Ini adalah race to the bottom yang merusak standar tenaga kerja dan produktivitas,” tegasnya.
Wahyu juga menolak anggapan bahwa pekerja yang menuntut kenaikan upah bersikap serakah. Menurutnya, mereka hanyalah korban dari sistem yang tidak adil.
Fenomena Rojali dan Rohana turut menjadi perhatian legislatif dan eksekutif. Ahmad Najib Qodratullah, Anggota Komisi XI DPR RI, menyebut tren ini sebagai sinyal bahaya yang perlu segera ditangani.
Sementara Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan agar istilah ini tidak dijadikan bahan candaan, melainkan alarm peringatan untuk memperbaiki perekonomian nasional.
Sebagai langkah awal, FSPMI Jawa Barat akan menggelar Workshop Pengupahan pada 14–15 Agustus 2025 di KC FSPMI Kabupaten Purwakarta, guna merumuskan formula pengupahan yang lebih adil.
Pemerintah juga tengah menyiapkan draf revisi UU Ketenagakerjaan untuk memperbaiki struktur upah dan memperkuat perlindungan hak pekerja.
Menurut Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, fenomena Rojali dan Rohana mencerminkan tekanan pendapatan rumah tangga akibat inflasi pangan, harga properti yang tinggi, dan beban cicilan utang.
Data Susenas BPS Maret 2025 menunjukkan, kelompok 20% terkaya mulai mengurangi konsumsi, dengan kontribusi pengeluaran turun dari 46,24% pada September 2024 menjadi 45,56% di Maret 2025.
Bhima menegaskan bahwa ini adalah tanda bahwa bahkan kelas menengah atas kini mulai berhati-hati dalam berbelanja.
Pemerintah didorong mengambil langkah strategis seperti mendorong investasi padat karya, mendukung kewirausahaan, dan menaikkan upah secara signifikan demi memulihkan daya beli rakyat.
Workshop FSPMI di Purwakarta menjadi salah satu langkah konkret menuju Indonesia Emas 2045. Tanpa perbaikan sistemik, ketimpangan sosial-ekonomi akan terus menghambat pencapaian cita-cita besar bangsa.