![]() |
Kang Dedi Mulyadi foto bersama bareng anak perempuannya / foto: Facebook @Kang Dedi Mulyadi |
Solidaritas.Online - Garut sedang tidak baik-baik saja. Konflik demi konflik mewarnai hubungan tokoh lokal dengan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM).
Dari polemik dana hibah yang mengguncang, Memo Hermawan, asal Garut yang meminta aksi walkout fraksi PDIP DPRD Jabar pada 16 Mei 2025, hingga viralnya potongan ceramah Ustad Aceng yang seolah menantang KDM “gelut,” Garut ibarat bara dalam sekam.
Mengapa kota ini terus bergolak, padahal KDM telah menggelontorkan banyak bantuan untuk warganya?
Mari kita lihat fakta. KDM adalah gubernur yang _hands-on_. Ketika TKI asal Garut terlantar di Brunei awal 2025, ia berkoordinasi dengan KBRI untuk memulangkan mereka.
Pasca-ledakan amunisi di Cibalong yang menewaskan 13 orang pada 12 Mei 2025, KDM menjanjikan santunan Rp 50 juta per keluarga korban dan beasiswa pendidikan hingga perguruan tinggi.
Rencana pesta rakyat Juli 2025 untuk pernikahan putranya, Maula, dengan Wakil Bupati Garut, juga dijanjikan sebagai ajang silaturahmi warga. Tapi, mengapa sebagian tokoh lokal justru kontra?
Wahyu Hidayat dari Spirit Binokasih menilai, pola ceramah provokatif seperti yang dilakukan Ustad Aceng, apalagi akhirnya dipotong untuk viral, hanya memperburuk situasi. “Kritik itu sehat, tapi jangan sampai menabur fitnah,” katanya, Rabu (25/6/25).
Wahyu memuji sikap KDM yang memilih merangkul kritik dengan bijak, menganggapnya sebagai tanda sayang. Ia mengajak semua pihak fokus membangun, bukan memanaskan suasana.
Isu dana hibah jadi pemicu awal. DPRD Jabar, khususnya fraksi PDIP, merasa KDM juga tidak transparan dalam pengelolaan anggaran.
Kemudian Walkout dipimpin Memo Hermawan, asal Garut, sebagai protes atas narasi KDM yang dianggap melecehkan legislatif. Sayangnya, ceramah Ustad Aceng kembali membakar emosi publik. Apakah ini kritik atau sekadar cari sensasi?
Data menunjukkan, KDM telah mengalokasikan Rp1,2 triliun untuk proyek infrastruktur di Garut sejak 2023, termasuk revitalisasi pasar tradisional.
Namun, ketegangan politik lokal tampaknya lebih dipicu ambisi pribadi ketimbang substansi. Garut harus bangkit dari konflik ini.
Tokoh lokal, ulama, dan masyarakat perlu duduk bersama, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Seperti kata Wahyu, “Jangan baperan, saatnya berperan," tutupnya
(Why)