![]() |
Foto; PortoNews |
Solidaritas.Online - Raja Ampat, Papua Barat Daya – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada Kamis (5/6) menyampaikan bahwa pemerintah akan menghentikan sementara operasional tambang nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. Pernyataan ini sontak menarik perhatian publik karena dinilai sebagai bentuk respons atas meningkatnya protes masyarakat dan aktivis lingkungan.
Namun, dua hari berselang, pada Sabtu (7/6), Menteri Bahlil bersama Gubernur Papua Barat Daya dan Bupati Raja Ampat melakukan kunjungan ke lokasi tambang di Pulau Gag. Dalam kunjungan tersebut, para pejabat menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya permasalahan dalam aktivitas tambang nikel di wilayah tersebut.
Pernyataan ini dinilai kontradiktif dan memicu kecurigaan berbagai pihak, mengingat sejumlah laporan dan temuan sebelumnya menyebutkan adanya dampak lingkungan serius akibat aktivitas pertambangan di kawasan itu.
Menurut analisis Greenpeace, dugaan eksploitasi nikel tidak hanya terjadi di Pulau Gag, tetapi juga di Pulau Kawe dan Pulau Manuran ketiganya terletak di sekitar kawasan konservasi Raja Ampat. Aktivitas tambang disebut telah membabat lebih dari 500 hektare hutan tropis dan vegetasi alami yang menjadi ciri khas ekosistem Papua.
Greenpeace juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan ketentuan ini, aktivitas pertambangan di pulau kecil yang rentan ekologis sangat dibatasi, terutama jika mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat adat.
Anehnya, hingga saat ini tidak ada tindakan hukum tegas terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang diduga melanggar undang-undang tersebut.
Sehingga menuaikan kecurigaan bahwa Mentri ESDM melindungi aktivitas tambang tersebut PT yang beroperasi di wilayah tersebut pun belum diproses secara hukum oleh pemerintah.
Sementara itu, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menilai bahwa instansi yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dalam kasus ini adalah Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K), sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 12/PERMEN-KP/2013. Namun, hingga kini, belum ada laporan resmi mengenai langkah hukum yang diambil oleh lembaga tersebut.
Iqbal Damanik, aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, menyebut bahwa keputusan penghentian sementara tambang hanyalah upaya meredam tekanan publik. “Keputusan stop tambang sementara itu hanya akal-akalan untuk meredam protes masyarakat,” ujarnya.
Dengan adanya pernyataan yang saling bertentangan antara pejabat dan temuan organisasi lingkungan, masyarakat Papua dan publik nasional pun mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas. Mereka menilai bahwa penghentian sementara bukanlah solusi menyeluruh atas ancaman kerusakan lingkungan yang telah terjadi.
“Ini bukan sekadar masalah izin tambang, tapi soal masa depan ekosistem Raja Ampat dan hak hidup masyarakat adat,” ujar salah satu warga setempat.
Pemerintah pun kini berada dalam sorotan publik dan dihadapkan pada tuntutan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran hukum dan memberikan jaminan perlindungan atas wilayah-wilayah konservasi yang rawan rusak akibat ekspansi industri ekstraktif.
(Adil H)