Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Warisan Leluhur Sebagai Jembatan Identitas Purwakarta di Tengah Arus Modernitas

27 Juni 2025 | 14:14 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-27T07:14:00Z
Foto di depan kantor Bupati Purwakarta

Solidaritas.Online - Di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda, tiga nama besar menorehkan jejak abadi di tanah Purwakarta yaitu Kanjeng Dalem Sholawat, Mama Sempur, dan Syekh Baing Yusuf. Mereka bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan pahlawan yang menanam benih keimanan, kebersamaan, dan kesejahteraan di tengah keterbatasan. 

Namun, di era modern ini, ketika media sosial lebih menarik perhatian daripada cerita leluhur, kita dihadapkan pada pertanyaan mendalam: Apakah cukup hanya menghargai sejarah dan keturunan mereka sebagai penjaga warisan? 

Jawabannya bukanlah pilihan hitam atau putih, melainkan sebuah panggilan untuk menghidupkan sejarah dengan cara yang relevan, inklusif, dan menggugah kesadaran.

Kanjeng Dalem Sholawat, atau R.A.A. Suriawinata, adalah visioner sejati. Pada 1830, ia memindahkan ibu kota Kabupaten Karawang ke Sindangkasih, menamainya Purwakarta, simbol awal kejayaan. Dengan semangat dan doa, ia membangun Situ Buleud, Masjid Agung Baing Yusuf, Solokan Gede, dan Situ Kamojing di tengah tekanan penjajah Belanda. 

Ia shalat istikharah untuk setiap keputusan, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati berpijak pada keimanan. Hingga wafatnya di Bogor pada 1872, ia menjalin ikatan erat antara Purwakarta dan Bogor, meninggalkan warisan yang tak hanya fisik, tetapi juga spiritual.

Mama Sempur, atau KH. Tubagus Ahmad Bakri, adalah ulama besar yang menimba ilmu hingga Mekkah. Pada 1911, ia mendirikan Pesantren As-Salafiyyah di Darangdang, mendidik ribuan santri yang menjadi tulang punggung kemerdekaan, seperti KH. Abuya Dimyati dan KH. Izzuddin. Karyanya, Cempaka Dilaga, adalah pelajaran tentang welas asih yang tetap relevan hingga kini. 

Makamnya di Sempur kini jadi destinasi wisata religi, tetapi ironisnya, hanya sedikit yang benar-benar memahami perjuangannya.

Syekh Baing Yusuf, saudara sepupu Kanjeng Dalem Sholawat, adalah pelopor penyebaran Islam di Purwakarta. Bersama Kanjeng Dalem, ia membangun Masjid Agung Baing Yusuf, simbol keimanan yang kokoh di tengah penjajahan. 

Makamnya masih diziarahi, namun namanya sering terlupakan di tengah hiruk-pikuk modernitas. Padahal, ia adalah pahlawan yang menjaga jiwa spiritual masyarakat Purwakarta tetap menyala.

Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menegaskan bahwa skeptisisme terhadap sejarah, terutama di kalangan generasi muda, adalah tantangan besar. 

Dalam pertemuan dzurriyyat Kanjeng Dalem Sholawat, Mama Sempur, dan Syekh Baing Yusuf dengan Bupati Purwakarta, Om Zein, pada 26 Juni 2025, Wahyu menyuarakan, “Sejarah adalah cermin identitas. Menghargainya berarti mewujudkan cita-cita leluhur yaitu Purwakarta yang berwibawa, sejahtera, dan bersatu.” 

Pertemuan yang digagas Aa Komara ini, meski harus dimajukan ke pagi hari karena kesibukan Om Zein, menunjukkan semangat dzurriyyat yang berangkat sejak Subuh dari Bogor demi silaturahmi dan pelestarian sejarah.

Namun, tantangan nyata terlihat dari data. Menurut hanya 35% siswa SMA di Jawa Barat memahami sejarah lokal. Riset We Are Social juga menunjukkan bahwa 78% orang Indonesia aktif di media sosial, namun konten sejarah kalah pamor dibandingkan hiburan. 

Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Purwakarta di angka 73,74 belum mampu menahan ancaman pudarnya identitas budaya akibat urbanisasi dan globalisasi. 

Lalu, bagaimana kita menghidupkan warisan leluhur? Pertama, kedepan, bagaimana bisa menjadikan sejarah hidup melalui konten digital yang menarik, wisata religi yang edukatif, atau kurikulum lokal yang inspiratif. 

Kedua, libatkan dzurriyyat sebagai duta sejarah, seperti yang dilakukan dalam Haul ke-153 Kanjeng Dalem Sholawat pada 13 Juli 2025 di Bogor, yang mengundang Om Zein dan Kang Dedi Mulyadi. 

Ketiga, pemerintah Purwakarta dan Bogor harus proaktif berkolaborasi, misalnya dengan mengoptimalkan aset sejarah untuk pendidikan, wisata, dan penguatan ekonomi lokal. Seperti kata Wahyu, “Setinggi kita menghargai sejarah, setinggi itu pula manfaat yang kita bisa dipetik.”

Bayangkan Kanjeng Dalem Sholawat menyaksikan kita berfoto di taman Sri Baduga tanpa tahu siapa yang membangunnya. Atau Mama Sempur, yang mendidik pejuang dengan penuh welas asih, melihat kita sibuk mengejar popularitas di media sosial. Syekh Baing Yusuf pasti bertanya, “Apa yang kalian lakukan untuk menjaga keimanan Purwakarta?” 

Sejarah adalah jembatan, dan dzurriyyat adalah penjaganya. Mari bersama menghidupkan warisan leluhur, bukan hanya untuk memuliakan masa lalu, tetapi untuk membangun Purwakarta yang berwibawa di masa depan.

(Why) 
×
Berita Terbaru Update