![]() |
Foto Ilustrasi kemacetan karena liburan dan kemacetan karena ada aksi buruh. |
Solidaritas.Online - Pada libur panjang Tahun Baru Islam 2025, Tol Cipularang mengalami kemacetan parah sepanjang 12-25 km dari pagi hingga siang, akibat lonjakan kendaraan wisatawan menuju Bandung.
Jasa Marga melaporkan kepadatan di KM 76 hingga KM 120, dengan waktu tempuh meningkat hingga 2-3 kali lipat. Namun, menariknya, respons publik minim kemarahan.
Tidak ada hujatan massal di media sosial, tak seperti saat kemacetan akibat demo buruh, seperti yang dialami istri Ridwan Kamil yang terjebak 3 jam dan memicu simpati ribuan netizen.
Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menyoroti ketimpangan ini: mengapa macet akibat libur diterima, tapi aksi buruh untuk upah layak menuai cercaan?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan upah rata-rata buruh di Jawa Barat hanya Rp3,2 juta/bulan, jauh di bawah kebutuhan hidup layak (KHL) Rp4,5 juta.
Ketika dialog dengan PJ Gubernur gagal, buruh terpaksa berdemo untuk menekan pemerintah. Aksi ini sering menyebabkan macet, seperti di Tol Cipularang pada 2023, yang memicu kemarahan publik.
Namun, laporan Jasa Marga menyebut kemacetan libur Natal 2024 di Cipularang mencapai 15 km tanpa protes berarti. Mengapa? Karena publik menganggap libur atau proyek infrastruktur sebagai “kepentingan bersama”, sementara perjuangan buruh dipandang sebagai “gangguan publik”.
Fakta ini menggambarkan ketidakadilan sosial. Buruh, yang menyumbang 60% PDB Jawa Barat melalui sektor industri, justru dihakimi saat menuntut hak paling mendasarnya.
Upah adalah urat jadi buruh. Padahal, tanpa mereka, roda ekonomi akan terhenti. Wahyu Hidayat menegaskan, publik harus melihat buruh sebagai pahlawan, bukan pengacau.
Jika kita bisa memahami macet akibat libur, kita juga harus memahami perjuangan buruh. Mari dukung keadilan sosial dengan mendengar suara mereka, bukan menghujat.
(Why)