![]() |
Foto: ilustrasi/PNGegg |
Solidaritas.Online - Di ruang-ruang kelas hari ini, sering kali kita menjumpai pemandangan yang ganjil namun dianggap biasa: dosen datang, memberi tugas, lalu pergi. Satu dua kata keluar dari mulutnya, selebihnya mahasiswa dibiarkan mencari sendiri. Bukan diskusi, bukan penjelasan — hanya instruksi. Dosen bukan lagi menjadi sosok pendidik, melainkan lebih menyerupai penyuruh.
Padahal, kalau menengok sejarah masa lalu, dosen adalah tokoh sentral yang menyulut api berpikir mahasiswa. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga membimbing. Mereka tidak hanya menguji, tetapi juga membentuk watak. Dosen zaman dahulu dikenal keras, tapi juga berdedikasi. Kelas bukan hanya tempat menyimak, tapi arena dialog. Mahasiswa boleh bertanya, membantah, bahkan berdebat — dan itu dianggap sehat.
Coba kita sebut beberapa nama dalam sejarah intelektual Indonesia: Soedjatmoko, Mochtar Lubis, hingga Pramoedya Ananta Toer. Meskipun sebagian tidak berlatar dosen formal, semangat mereka membentuk generasi muda sangat terasa. Mereka bukan hanya mengajar teori, tapi juga memberi contoh dalam praktik, dalam sikap, dan dalam keberanian berpikir. Ada keteladanan yang nyata.
Kini, banyak dosen memilih diam. Dalam kelas, hanya memberi PPT dan tugas. Diskusi pun kering, jika bukan karena mahasiswa memaksa untuk bertanya. Bahkan kadang, ketika mahasiswa bertanya lebih dalam, responsnya justru sinis: “Cari sendiri di Google.” Apakah ini yang disebut pendidikan?
Dosen seharusnya sadar bahwa mereka punya posisi strategis sebagai pemberi asupan intelektual. Mahasiswa — meskipun kritis — tetaplah pembelajar. Mereka butuh panduan, bukan hanya perintah. Butuh arah, bukan hanya syarat. Butuh dimanusiakan, bukan diperlakukan seperti mesin yang harus mengerjakan tugas tanpa memahami konteksnya.
Membaca fenomena ini, ada yang keliru dalam sistem pendidikan tinggi kita. Mungkin karena beban administrasi dosen terlalu tinggi. Mungkin karena atmosfer kampus tak lagi mendukung hubungan hangat dan bermakna antara dosen dan mahasiswa. Namun apapun sebabnya, membiarkan relasi dosen-mahasiswa menjadi kaku dan kering adalah kekeliruan besar.
Jika dosen hanya memberi tugas dan diam, lalu apa bedanya dengan mesin pencari? Bukankah pendidikan adalah proses pembentukan karakter dan pemahaman, bukan hanya pengumpulan tugas?
Sudah saatnya dosen kembali menjadi pendidik sejati. Yang hadir bukan hanya secara fisik, tapi juga secara intelektual dan emosional. Yang tidak hanya hadir untuk menilai, tapi juga menemani proses berpikir mahasiswa. Karena tanpa itu, gelar akademik hanya jadi formalitas, dan kampus tak ubahnya pabrik tugas — bukan rumah ilmu.
(Anggraena)