Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mimpi yang Terenggut oleh Sistem Korup: Kasus Ahmad Apandi Asgar Jadi Cermin Ketidakadilan Pendidikan

25 September 2025 | 05:16 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-24T22:16:28Z
Kisah Ahmad Apandi Asgar, pemuda Purwakarta penerima beasiswa ke Yaman, terancam gagal berangkat karena sistem pendidikan yang tidak adil. Refleksi kasus ini ungkap ketidakmerataan anggaran pendidikan Indonesia.

Solidaritas.Online - Kisah inspiratif Ahmad Apandi Asgar, pemuda desa asal Purwakarta yang berhasil meraih beasiswa ke Yaman, mendadak berubah menjadi potret ironis kegagalan sistem pendidikan di Indonesia. 

Dari hanya 20 orang se-Indonesia yang diterima, Asgar termasuk salah satu yang lolos. Namun, mimpinya terancam kandas karena masih harus mengumpulkan sisa biaya keberangkatan sebesar Rp30 juta.

Perjuangan Asgar bukan sekadar soal kesulitan finansial. Kasus ini mencerminkan betapa sistem pendidikan yang korup dan tidak adil telah membunuh potensi anak bangsa.

Analisis Tajam Wahyu Hidayat: “Yang Salah Bukan Asgar, Tapi Sistem”

Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menegaskan bahwa akar masalah bukan pada Asgar, melainkan sistem pendidikan itu sendiri.

“Asgar tidak salah, melainkan sistem yang korup,” tegas Wahyu, Rabu (24/9). 

Ia mengungkapkan ketidakmerataan anggaran pendidikan yang seharusnya menjadi hak seluruh warga negara. 

Dari total Rp724 triliun anggaran pendidikan tahun 2025, Rp91,4 triliun dialokasikan untuk 64 juta siswa pendidikan umum (SD hingga perguruan tinggi). Sebaliknya, Rp104 triliun justru digelontorkan hanya untuk 13 ribu siswa sekolah kedinasan.

Menurut Wahyu, perbandingan ini adalah bentuk “ketidakadilan ekstrem” dan bukti nyata “kebusukan sistematis” dalam alokasi anggaran pendidikan nasional.

Pemuda Berprestasi yang Dipaksa “Mengemis”

Keberhasilan Asgar lolos beasiswa—di mana hanya dua orang dari Jawa Barat yang diterima—seharusnya menjadi kebanggaan. Namun kenyataan pahit justru menamparnya.

“Pemuda berprestasi seperti Asgar, yang menempuh jalur pesantren, harus berjuang sendiri dan mengemis Rp48 juta untuk meraih mimpinya,” ungkap Wahyu.

Pertanyaan fundamental pun mencuat: Apakah pendidikan adalah kewajiban negara atau sekadar bisnis? Jika kewajiban, mengapa ada jalur pendidikan yang diperlakukan bak “anak tiri”? 

Dan jika dianggap bisnis, untuk apa pemerintah mengklaim 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan, tetapi gagal menjamin akses yang setara?

Upaya Pemerintah Daerah dan Masyarakat

Di tengah ketidakadilan itu, berbagai pihak mulai bergerak. BELA PURWAKARTA mengusulkan agar Pemkab Purwakarta menyiapkan anggaran Biaya Tidak Terduga (BTT) non-kebencanaan dalam APBD. 

Menurut mereka, langkah strategis ini adalah bentuk “sedia payung sebelum hujan” untuk mengantisipasi kebutuhan mendesak warga berprestasi di luar konteks kebencanaan.

Dukungan moral juga datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Purwakarta, Kyai H.M. John Dien. Ia berkomitmen mencari solusi dan membangkitkan “Power of Berjama’ah” sebagai gerakan solidaritas masyarakat.

Namun, Wahyu menegaskan bahwa peran masyarakat saja tidak cukup. Dibutuhkan sinergi nyata antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan elemen bangsa agar anak-anak berprestasi seperti Asgar tidak lagi kehilangan kesempatan emas.

Momentum Perubahan Sistem Pendidikan Nasional

Kasus Asgar seharusnya tidak dipandang sekadar sebagai upaya penggalangan donasi. Lebih dari itu, ini adalah momentum untuk refleksi mendalam dan perubahan sistemik.

Indonesia tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. 

Namun, SDM berkualitas tidak akan lahir jika mimpi mereka terus terenggut oleh sistem pendidikan yang timpang.

Jika pemerintah gagal mendukung, Indonesia tidak hanya kehilangan satu Ahmad Apandi Asgar. Bangsa ini juga akan kehilangan potensi besar generasi penerus yang seharusnya menjadi harapan masa depan.

(Why) 

×
Berita Terbaru Update