Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Melawan Ketidakadilan, Menyusun Masa Depan Buruh

15 Juli 2025 | 04:38 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-14T21:38:36Z
FSPMI gelar Konsolidasi Nasional 2025, serukan perjuangan buruh susun RUU Ketenagakerjaan usai Putusan MK soal UU Cipta Kerja. Aksi nasional siap digelar! (dok: FSPMI) 


Solidaritas.Online - langit mungkin mendung, tetapi semangat ratusan pengurus FSPMI yang berkumpul di Pusdiklat FSPMI membara. Konsolidasi Nasional FSPMI 2025 bukan hanya ajang diskusi, tetapi deklarasi perlawanan terhadap ketidakadilan yang telah lama mendera kaum buruh. 

Said Iqbal, pimpinan FSPMI, dengan suara menggelegar mengingatkan bahwa selama hampir tiga dekade, FSPMI telah menjadi benteng perjuangan buruh. 

“RUU Ketenagakerjaan versi FSPMI adalah senjata kita untuk melawan eksploitasi. Mari kita solid, kompak, dan wujudkan keadilan!” ujarnya, disambut sorak sorai penuh semangat.

Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 adalah kemenangan awal. MK memerintahkan pembentukan UU Ketenagakerjaan baru sebelum 31 Oktober 2026, menolak pasal-pasal UU Cipta Kerja yang merugikan pekerja. 

Dengan tegas, MK menyatakan bahwa tenaga kerja lokal harus diprioritaskan, alih daya harus dibatasi, dan PKWT tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan sepihak pengusaha. Putusan ini juga menegaskan hak pekerja atas upah layak, pesangon, dan perlindungan dari PHK sewenang-wenang. 

Namun, kemenangan ini bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan yang lebih besar. Seperti disampaikan Wahyu Hidayat, founder Spirit Binokasih serta pengurus FSPMI yang turut hadir dalam Konsolidasi tersebut, 

“Buruh harus aktif menyusun RUU Ketenagakerjaan. Ini soal martabat, soal penghidupan layak, soal amanat UUD 1945.”

Fakta di lapangan memilukan. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 50% pekerja Indonesia masih terjebak dalam pekerjaan informal tanpa jaminan sosial. 

UU Cipta Kerja sebelumnya mempermudah PHK bahkan melalui pesan singkat, sebagaimana dikritik Said Iqbal, dan memicu maraknya alih daya yang disebutnya sebagai “perbudakan modern”. 

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa perempuan pekerja sering kali menjadi korban, dengan minimnya perlindungan terhadap hak maternitas dan maraknya kekerasan di tempat kerja. Inilah realitas yang harus kita ubah.

Konsolidasi Nasional FSPMI adalah seruan untuk bertindak. RUU Ketenagakerjaan versi FSPMI harus menjadi cerminan aspirasi buruh: menghapus alih daya yang tidak manusiawi, menjamin upah layak, dan memastikan proses PHK yang adil melalui musyawarah. 

Sejarah membuktikan, perjuangan buruh sanggup mengguncang sistem. Pada 2013, aksi besar-besaran buruh berhasil memaksa pemerintah menaikkan upah minimum di beberapa daerah secara signifikan. 

Kini, dengan putusan MK sebagai amunisi, kelas pekerja memiliki peluang lebih besar untuk menang.

"Kini bukan waktunya berpangku tangan apalagi menyerah. Kita adalah roda penggerak ekonomi, tulang punggung bangsa. Tanpa kita, pabrik berhenti, ekonomi lumpuh. Mari satukan suara, kita susun dan kawal RUU Ketenagakerjaan yang berpihak pada kita, dan pastikan Indonesia Emas 2045 bukan hanya mimpi elit, tetapi kenyataan bagi pekerja." ujar Wahyu. 

Sebagai bentuk deklarasi komitmen kesungguhan partisipasif kaum buruh maka setelah penyusunan draft, diperkirakan pada 30-31 Juli. 

Buruh akan melakukan aksi besar di seluruh Indonesia. Bersama FSPMI, kita wujudkan keadilan yang telah lama kita nantikan!. 

(Why) 
×
Berita Terbaru Update