![]() |
Sumber : Instagram/khafid25jr |
Di tengah tantangan dunia pendidikan tinggi yang kerap dianggap kaku dan birokratis, Program Studi Psikologi Universitas Bina Bangsa justru menghadirkan angin segar.
Melalui pendekatan keterbukaan antara mahasiswa dan Ketua Program Studi (Kaprodi), suasana akademik yang lebih hidup, setara, dan responsif kini mulai terasa di kampus tersebut.
Agung Prabowo Wisnubroto, M.Psi., Psikolog, selaku Kaprodi Psikologi, menegaskan bahwa keterbukaan bukan hanya soal komunikasi, melainkan bagian dari strategi membangun program studi yang berpihak pada kebutuhan dan aspirasi mahasiswa.
“Keterbukaan itu penting agar mahasiswa merasa dilibatkan, punya ruang untuk bertanya, menyampaikan pendapat, bahkan mengkritik. Karena program studi ini bukan hanya milik Kaprodi atau dosen, tapi milik bersama,” ujarnya saat diwawancarai, Kamis (12/6/25).
Menurut Agung, mahasiswa tidak hanya hadir dalam kegiatan akademik, tetapi juga aktif dilibatkan dalam kegiatan tridarma perguruan tinggi seperti praktikum, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan cara itu, mahasiswa belajar tidak hanya dari teori, tetapi juga dari interaksi sosial dan kerja kolaboratif.
Ia menambahkan, saluran komunikasi dibuka secara fleksibel—baik formal maupun informal. Mahasiswa bisa datang langsung, menjadwalkan pertemuan, atau menghubungi lewat pesan singkat.
“Selama komunikasinya sopan dan dalam waktu yang wajar, saya pasti merespons. Ini bagian dari membangun kepercayaan,” tambahnya.
Keterbukaan ini juga mencakup kemitraan antara Kaprodi dan organisasi mahasiswa seperti IMAPSI (Ikatan Mahasiswa Psikologi).
Mereka dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan teknis dan strategis, termasuk dalam penentuan bentuk acara atau waktu pelaksanaan.
“Kami ingin mahasiswa tahu bahwa suara mereka punya bobot. Maka ketika mereka memberi masukan, kami tanggapi dengan serius,” tutur Agung.
Respons positif dari mahasiswa juga mulai terlihat. Banyak dari mereka kini lebih berani menyampaikan pandangan, berdiskusi, bahkan mengusulkan kegiatan baru. Namun Agung tak menampik masih ada ruang untuk memperkuat intensitas komunikasi itu.
“Komunitas dialog harus terus dibangun. Supaya mahasiswa tahu bahwa kampus ini adalah ruang tumbuh mereka,” ucapnya.
Menutup wawancara, Agung menyampaikan pesan sederhana, tapi penting:
“Silakan bicara dengan Kaprodi. Jangan ragu. Selama tujuannya untuk perbaikan dan pembelajaran, kami terbuka,” tutupnya.
Langkah-langkah seperti ini menunjukkan bahwa perubahan di dunia pendidikan tak selalu harus dimulai dari kebijakan pusat. Terkadang, cukup dimulai dari ruang-ruang kecil yang menghidupkan nilai solidaritas, keterbukaan, dan rasa saling percaya antara dosen dan mahasiswa.
(Adil)