Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

 


Indeks Berita

Ketika Kebutuhan Mendesak Bertemu Paylater, Dilema Pekerja Milenial

04 Juni 2025 | 14:12 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-04T12:23:12Z
Foto: Ilustrasi yang sedang pusing banyak tagihan/AI


Solidaritas.Online - Di era digital yang serba cepat ini, kemudahan akses terhadap berbagai layanan finansial menjadi pedang bermata dua, terutama bagi pekerja milenial. Generasi yang tumbuh di tengah pesatnya teknologi ini akrab dengan segala bentuk instan, termasuk solusi pembayaran. Salah satu fenomena yang paling menonjol adalah menjamurnya layanan Paylater.

Awalnya dianggap sebagai inovasi yang memudahkan transaksi, kini Payater telah merasuk ke dalam kehidupan finansial milenial, seringkali menjadi penolong di kala kebutuhan mendesak tiba. Namun, di balik janji kemudahan, tersembunyi dilema dan potensi jerat utang yang mengancam stabilitas keuangan mereka.

Pekerja milenial saat ini menghadapi tantangan unik. Meskipun didominasi oleh lulusan perguruan tinggi dengan akses informasi yang luas, banyak dari mereka masih bergulat dengan realitas gaji yang seringkali pas-pasan di tengah biaya hidup yang terus meningkat. Inflasi, harga sewa tempat tinggal, transportasi, hingga kebutuhan pokok, semuanya menggerus pendapatan bulanan.

Di sisi lain, ada pula tuntutan gaya hidup yang tak terhindarkan. Milenial dikenal sebagai generasi yang menghargai pengalaman, konektivitas sosial, dan update tren terbaru. Ponsel pintar keluaran terbaru untuk menunjang pekerjaan dan komunikasi, langganan streaming hiburan, kopi kekinian, hingga hangout dengan teman, semua itu membutuhkan alokasi dana.

Ketika gaji belum cair dan ada kebutuhan mendesak yang muncul – sebut saja laptop rusak yang menghambat pekerjaan, tagihan listrik yang membengkak, atau bahkan biaya perbaikan kendaraan untuk mobilitas – Paylater muncul sebagai Malaikat Penolong.

"Saya sering pakai Paylater kalau ada kebutuhan mendadak yang nggak bisa ditunda, kayak servis motor buat ke kantor atau beli kuota internet kalau lagi sekarat," ungkap Ari (27th), seorang mahasiswa sekaligus pekerja swasta disalah satu perusahaan Textile di Purwakarta. "Rasanya lebih gampang daripada pinjam ke teman atau keluarga," tambahnya.

Kemudahan persetujuan instan dan syarat yang minim, jauh berbeda dengan proses panjang pengajuan kartu kredit atau pinjaman bank konvensional, menjadi daya tarik utama Paylater. Cukup dengan verifikasi KTP dan data pribadi, pekerja milenial sudah bisa mengakses limit pinjaman digital.

Namun, kemudahan ini seringkali membawa serta keserakahan. Literasi keuangan yang belum merata di kalangan milenial menjadi celah. Banyak yang terpukau oleh limit yang ditawarkan dan kemudahan transaksi, tanpa sepenuhnya memahami konsekuensi dari bunga dan denda keterlambatan yang tinggi. Paylater, yang sejatinya adalah bentuk pinjaman, kerap dianggap sebatas metode pembayaran biasa.

"Awalnya cuma pakai buat beli barang kebutuhan kantor. Tapi lama-lama, jadi kepikiran buat beli yang lain juga, kayak baju diskon atau tiket konser," cerita Rani (25), seorang desainer grafis. "Sekarang, setiap bulan harus alokasi gaji buat bayar Paylater, kadang sampai ngos-ngosan," katanya, Rabu (4/6). 

Fenomena konsumerisme yang dipicu oleh Paylater sangat nyata. Promo flash sale, diskon menarik, atau penawaran beli sekarang bayar nanti. Seringkali mendorong milenial untuk melakukan pembelian impulsif terhadap barang-barang yang sebetulnya tidak prioritas.

Akibatnya, cicilan menumpuk, dan ketika tiba tanggal jatuh tempo, gaji bulanan tak lagi mampu menutupi seluruh tagihan.
Ketika pembayaran tersendat, denda keterlambatan mulai bekerja, menggerogoti sisa pendapatan dan menciptakan lingkaran setan utang.

Tidak sedikit pekerja milenial yang akhirnya menggunakan satu Paylater untuk melunasi cicilan Paylater lainnya, tanpa menyadari bahwa mereka sedang menggali lubang utang yang lebih dalam. Stres finansial akibat lilitan Paylater tak jarang berimbas pada kinerja dan kesejahteraan mental mereka.

Maka, Paylater pun menjadi dilema besar bagi pekerja milenial: apakah ia adalah solusi instan yang membantu melewati masa-masa sulit, ataukah beban jangka panjang yang mengancam masa depan finansial?
Di satu sisi, Paylater memang mengisi kekosongan saat ada kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda dan tidak ada sumber dana lain. Ini bisa jadi penyelamat bagi mereka yang membutuhkan fleksibilitas finansial sesekali.

Namun, di sisi lain, jika digunakan tanpa perencanaan yang matang dan pemahaman risiko yang mendalam, Paylater dapat menjadi jerat utang yang sulit dilepaskan.
Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya memperketat regulasi dan pengawasan terhadap penyedia Paylater.

Tanggung jawab terbesar ada pada individu pekerja milenial itu sendiri. Literasi keuangan yang kuat, kemampuan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta disiplin dalam mengelola anggaran menjadi kunci utama.

Masa depan finansial yang stabil tidak bisa dibangun di atas fondasi utang konsumtif. Pekerja milenial perlu didorong untuk lebih fokus pada perencanaan keuangan jangka panjang, seperti menabung untuk dana darurat, berinvestasi, dan hidup sesuai kemampuan.

Paylater, jika memang harus digunakan, sebaiknya dijadikan pilihan terakhir dan dengan perhitungan yang sangat cermat. Jika tidak, malaikat penolong instan ini bisa jadi membawa mereka ke dalam pusaran masalah finansial yang lebih besar.***


(Conk) 

×
Berita Terbaru Update