Solidaritas.Online - Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bahwa "tidak perlu" kerjasama dengan media massa karena media sosial lebih efektif dan efisien telah memicu polemik. Ketua JMSI Jawa Barat, Sony Fitrah Perizal, menilai pernyataan ini sah sebagai opini pribadi, tapi berbahaya jika diucapkan sebagai pejabat publik.
Menurutnya, gubernur wajib menjamin kemerdekaan pers, bukan meminggirkannya. Komunitas Madani Purwakarta bahkan meminta klarifikasi, karena pernyataan ini dinilai mendelegitimasi peran pers sebagai pilar demokrasi dan kontrol sosial.
Data menunjukkan Dedi memangkas anggaran iklan Pemprov Jabar dari Rp 50 miliar menjadi Rp 3 miliar, dengan mengandalkan media sosial untuk komunikasi publik. Langkah ini dianggap efektif dengan konten yang viral, pesan sampai ke masyarakat, dan anggaran dialihkan ke sektor krusial seperti pendidikan dan infrastruktur.
Namun, efisiensi ini punya konsekuensi. Banyak media lokal bergantung pada kerja sama dengan pemerintah untuk bertahan. Pemangkasan anggaran berarti pengurangan pendapatan jurnalis. Berdasarkan data Dewan Pers, lebih dari 60% jurnalis di Indonesia berpenghasilan di bawah standar upah layak.
Gaji yang rendah, jam kerja panjang, dan risiko profesi yang tinggi—termasuk ancaman fisik dan hukum—sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, mencoba menawarkan perspektif yang lebih seimbang. Ia mengakui bahwa pendekatan KDM menggunakan media sosial memang efektif.
Platform seperti Instagram, Twitter, atau YouTube memungkinkan komunikasi yang cepat, transparan, dan hemat anggaran. Media sosial memungkinkan pejabat publik menyampaikan informasi langsung ke masyarakat tanpa perantara, dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan iklan di media massa.
Namun, tanpa kerja sama media, perusahaan pers kesulitan membayar jurnalis, yang akhirnya berdampak pada kualitas jurnalisme. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa pemerintah harus mendukung kemerdekaan pers, termasuk melalui kebijakan yang memastikan keberlanjutan perusahaan pers.
Pemerintah daerah bisa berperan dengan mengalokasikan anggaran untuk pelatihan jurnalis atau mendukung media lokal melalui proyek jurnalisme berkualitas.
Publik kini dihadapkan pada pilihan: mendukung pendekatan Dedi yang mengutamakan media sosial karena hemat dan viral, atau memperjuangkan media massa yang independen meski lebih mahal.
Data dari Dewan Pers (2023) menunjukkan 43% perusahaan media di Indonesia kesulitan keuangan akibat menurunnya pendapatan iklan. Bagaimana solusinya?
Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan pers, dan masyarakat sipil menjadi kunci. Pemerintah dapat menciptakan model pendanaan berkelanjutan, seperti dana abadi pers atau insentif pajak untuk media independen.
Perusahaan pers juga perlu berinovasi sehingga berdaya saing misalnya dengan mengintegrasikan platform digital tanpa mengorbankan kualitas jurnalistik.
Masyarakat, sebagai konsumen informasi, harus lebih kritis dan mendukung media yang kredibel, misalnya melalui langganan atau donasi. Selain itu, pelatihan bagi jurnalis untuk menguasai teknologi digital dapat membantu mereka tetap relevan di era media sosial.
Polemik ini adalah panggilan untuk bertindak. Jurnalis bukan sekadar alat, tetapi nyawa dari demokrasi. Jika kita membiarkan mereka terpuruk, kebenaran akan menjadi korban berikutnya.
Mendukung jurnalis, memperjuangkan kebenaran, dan memastikan bahwa suara mereka tidak pernah redup adalah bagian dari semangat kita untuk mewujudkan bangsa yang unggul, bermartabat dan sejahtera. Karena tanpa jurnalis, dunia akan kehilangan salah satu cahaya terbesarnya.
(Why)