Solidaritas.Online - Rencana menghidupkan kembali Tempat Hiburan Malam (THM) di kawasan Pantai Labombo, Kota Palopo, kembali menjadi perbincangan hangat.
Wacana tersebut memicu pro dan kontra di tengah masyarakat, antara peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kekhawatiran dampak sosial serta moral.
Dilema Ekonomi dan Budaya
Sebagian pihak menilai THM bisa memberikan kontribusi terhadap PAD yang nantinya digunakan untuk pembangunan daerah. Namun, mayoritas warga justru menolak keras dengan alasan merusak citra religius dan adat istiadat Kota Palopo.
“Palopo ini kota religius. Kalau ada THM, takutnya pergaulan bebas dan maksiat makin merajalela. Belum lagi masalah keamanan, pasti akan meningkat,” tegas Rahman, salah seorang tokoh masyarakat.
Suara serupa juga ramai di media sosial. Seorang warganet bernama Aqioaslam Adibachry menilai manfaat THM untuk PAD tidak sebanding dengan risikonya.
“PAD itu lebih besar untuk membiayai sektor-sektor tertentu saja misalnya gaji dewan dan tunjangan pejabat publik. Terlalu sedikit untuk pendidikan dan kesehatan. Saya secara pribadi menolak penuh kawasan Labombo dijadikan tempat hiburan malam dan diskotik. Maksiat, narkoba, harus diperangi di kota IDAMAN Palopo,” tulisnya.
Sementara itu, akun Arief Aruna menambahkan:
“Mudarat lebih banyak daripada manfaatnya, masih banyak sumber-sumber PAD yang lebih berkah dan bisa dimaksimalkan.”
Lebih keras lagi, Andi Nurlely menilai rencana ini ibarat membuka pintu bagi hal-hal negatif.
“Menghidupkan kembali tempat berkumpulnya iblis dan setan,” ujarnya.
Penolakan Warganet dan Masa Depan Pantai Labombo
Penolakan warganet pun semakin deras. Ratusan komentar di media sosial menegaskan bahwa THM hanya akan merusak moral generasi muda serta menimbulkan masalah sosial baru.
Meski begitu, sebagian kecil mendukung dengan alasan ekonomi, asalkan ada pengawasan ketat dari pemerintah.
Sebagai catatan, kawasan Marcopolo yang dulu dikenal dengan aktivitas hiburan malam sudah ditutup sejak puluhan tahun lalu demi menjaga citra religius dan keamanan Kota Palopo.
Kini, masyarakat menunggu langkah tegas dari pemerintah daerah. Apakah akan mendengarkan aspirasi mayoritas warga yang menolak, atau tetap menghidupkan kembali THM dengan alasan pendapatan daerah?
Debat ini bukan sekadar soal hiburan malam, tetapi juga tentang arah masa depan identitas Kota Palopo: menjaga nilai budaya dan religius, atau membuka diri pada modernisasi ekonomi dengan segala risikonya.