Solidaritas.Online - Kasus pelecehan seksual di tempat kerja kembali menjadi sorotan publik. Kali ini menimpa seorang buruh perempuan berinisial AP di PT. MPI Jatiluhur, Purwakarta, yang selama hampir setahun mengalami perlakuan tidak senonoh dari atasannya, AG.
Tindakan bejat itu mencakup sentuhan fisik yang melanggar batas kesusilaan, hingga akhirnya AP memberanikan diri melapor ke Serikat Pekerja Nasional (SPN) pada 6 Agustus 2025.
Merespons laporan tersebut, pihak perusahaan bergerak cepat. AG dipecat tanpa pesangon dan kasusnya langsung dilaporkan ke polisi oleh AP bersama suami serta kuasa hukumnya. Namun, setelah absen lima hari berturut-turut, AP dinyatakan mengundurkan diri.
Meski SPN menawarkan pendampingan, ia memilih untuk tidak kembali bekerja karena tekanan psikologis yang berat.
Wahyu Hidayat, dari Exco Partai Buruh dan Spirit Binokasih, menyesalkan masih maraknya pelecehan seksual di tempat kerja.
Ia mendorong pekerja perempuan untuk berani melapor, sembari mengingatkan bahwa perbuatan yang dianggap remeh bisa berujung pada pemecatan atau hukuman pidana.
“Pelecehan seksual di tempat kerja bukanlah isu baru, tetapi tetap menjadi ancaman serius. Menurut survei ILO, 70,81% pekerja di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual, dengan pelaku utama adalah atasan yang memanfaatkan posisi kuasa. Dampaknya tidak hanya terasa pada korban, tetapi juga pada produktivitas dan budaya kerja. Korban sering mengalami trauma psikologis, seperti stres, depresi, dan rasa takut, yang dapat menghambat karier mereka,” ujar Wahyu.
Kasus AP mengingatkan pada peristiwa di Cikarang yang menimpa karyawati Alfi Damayanti, yang dipaksa memilih antara menerima ajakan “staycation” atau kehilangan kontrak kerja.
Pola eksploitasi ini sama: pelaku menggunakan ancaman pekerjaan untuk menekan korban.
Di Indonesia, perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual sudah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman pidana hingga 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp300 juta.
Pasal 294 KUHP juga menjerat pelaku perbuatan cabul di tempat kerja dengan hukuman hingga 7 tahun penjara.
Namun, tingkat pelaporan masih rendah karena korban sering takut kehilangan pekerjaan atau merasa malu, seperti yang diungkapkan Komnas Perempuan.
Kasus di PT. MPI menjadi contoh positif ketika korban berani melapor, tetapi ketidakmauan AP untuk kembali bekerja menunjukkan masih kurangnya dukungan pasca-laporan.
Padahal, Kepmenaker No. 88 Tahun 2023 mewajibkan perusahaan memiliki kebijakan pencegahan dan saluran pengaduan aman. Sayangnya, laporan dari sektor tekstil dan garmen menunjukkan implementasinya sering lemah.
Serikat pekerja berperan penting dalam pendampingan, tetapi mereka membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah dan pengusaha.
Hal ini sejalan dengan Konvensi ILO No. 190 Tahun 2019, yang menegaskan hak pekerja untuk bebas dari kekerasan dan pelecehan berbasis gender.
“Pelecehan seksual bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia. Kasus AP di PT. MPI Jatiluhur harus menjadi pengingat bahwa setiap tindakan pelecehan seksual tidak dapat ditoleransi. Masyarakat, serikat pekerja, dan perusahaan harus bersatu untuk menciptakan budaya kerja yang menghormati semua pekerja, tanpa memandang gender,” tegas Wahyu.
Keberanian AP melapor menjadi langkah awal penting. Namun, perjuangan menciptakan lingkungan kerja aman dan bebas pelecehan masih panjang.***